Refine
Language
- Albanian (14)
- Arabic (108)
- Bulgarian (160)
- Catalan (14)
- Czech (79)
- Danish (45)
- German (9422)
- Greek (74)
- English (17979)
- Estonian (1)
- Euskara, Basqe (2)
- Farsi, Persian (26)
- Finnish (103)
- French (737)
- Gujaritic (3)
- Hebrew (52)
- Serbocroatic (292)
- Hungarian (103)
- Indonesian (68)
- Icelandish (1)
- Italian (1348)
- Japanese (182)
- Korean (197)
- Kurdish (1)
- Latin (1)
- Latvian (28)
- Lithuanian (10)
- Macedonian (2)
- Mongolian (1)
- Burmese (1)
- Dutch (75)
- nll (1)
- Norwegian (53)
- Turkish (102)
- Polish (429)
- Portuguese (256)
- Romansh (2)
- Romany (16)
- Roumain, Moldave (15)
- Russian (214)
- ser (2)
- Slovakian (14)
- Slovenian (29)
- Spanish (1963)
- Albanian (1)
- Serbian (26)
- Swedish (53)
- Ukrainian (8)
- Vietnamese (10)
- Sorbian (2)
- Chinese (1951)
Document Type
- Articles (24879)
- Books (4651)
- Reviews (2507)
- Dissertations (1091)
- Excerpts (778)
- Collections (738)
- Forewords (440)
- Ebooks (383)
- Interviews (353)
- Necrologues (236)
Tantangan terbesar Bangsa Indonesia ke depan adalah mempertahankan keutuhan NKRI ini ditengah-tengah bermunculannya gejolak disintegrasi bangsa. Perlu ditegaskan kembali bahwa Indonesia adalah bangsa yang majemuk dan kemajemukan bangsa ini telah melahirkan kebesaran dan kekokohan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang lahir berdasarkan kesepakatan para founding father negeri ini yang kemudian diwariskan kepada kita. Nilai-nilai kebhinekaan yang tertuang dalam lambang dan dasar negara kita telah banyak mengajarkan bahwa Indonesia bangsa yang majemuk sehingga perlu dijaga nilai-nilai kemajemukan melalui ikatan sosial kebangsaan atau kesalehan sosial. Upaya meneguhkan kembali jati diri ke-Bhineka-an Indonesia di tengahtengah gejolak disintegrasi bangsa saat ini bisa digali berbagai dimensi salah satunya membangun ikatan sosial melalui perwujudan karakter sosial dengan menularkan doktrin karakter sosial antara lain: >love (kasih saying), justice (keadilan), equality (kesamaan), and sacrifice (sikap rela berkorban)<. Bahwa konsepsi karakter sosial sejalan dengan nilai-nilai Falsafah Pancasila mengisyaratkan upaya memperkuat jati diri kemanusiawian. Menebarkan doktrin kasih sayang, sikap adil, persamaan dan sikap rela berkorban dapat menjaga nilai-nilai >human relationship<. Berdasarkan pemikiran tersebut bahwa nilai-nilai karakter sosial dapat digali dan dimplementasikan melalui pembelajaran di perguruan tinggi untuk meneguhkan kembali jati diri ke-Bhineka-an bagi bangsa Indonesia khususnya generasi muda mahasiswa agar memiliki kemampuan untuk hidup bersama dalam lingkungan sebayanya, orang tua dan lingkungan masyarakatnya secara luas.
Dentro la cultura del '68
(1980)
The aim of my paper is to introduce individual theories of aggression, which are divided according to the factors having influence on human aggressive behaviour and acting. Basically, the literature is chosen from the works of Erich Fromm, Sigmund Freud and Konrad Lorenz. This choice enabled to divide the issue into three basic areas, that is: biological, psychological and philosophical ones. All three areas are elaborated further by the issue of the child aggression origin, in subchapters. The impact of aggression on society is also emphasized by Hannah Arendt, who is trying to specify roots of social aggression, and is looking for individual and social responsibility for aggression. The theory, derived from those researches plus from subsequent modern psychological concept, attempts to reveal causes of aggression. Easier understanding of aggression causes would enable to influence or eliminate factors causing/strengthening aggression, either caused by society or by ourselves. Such understanding is the aim of all scientists, who sacrificed their lives to research of aggression, a phenomenon so dangerous for human beings.
Because psychology lacks a comprehensive theory of subjectivity that accounts for the entanglement of the social, cultural, historical, interpersonal, and personal, relevant elements for a theory of subjectivity are identified and presented. An important dimension for a theory of subjectivity is the reality of living everyday life, which includes working, relating, as well as self-processes. However, traditional psychology, including philosophical psychology, has neglected the role of work in mental life. It is argued that it is insufficient to address interaction and relationality or internal processes in the development of a theory subjectivity. Using Hannah Arendt’s and Nancy Fraser’s distinctions, it is argued that political-philosophical reflections on work remain important for understanding subjectivity. Consequences for an approach that includes work in a theory of subjectivity are discussed.