Refine
Language
- Arabic (3)
- German (38)
- English (94)
- Serbocroatic (2)
- Indonesian (4)
- Italian (1)
- Korean (2)
- Turkish (1)
- Polish (3)
- Portuguese (9)
- Russian (1)
- Spanish (3)
- Chinese (1)
Document Type
- Articles (143)
- Reviews (9)
- Dissertations (6)
- Forewords (3)
- event Report (1)
Has Fulltext
- yes (162) (remove)
Year of publication
- 2019 (162) (remove)
Sejak memasuki era industri, kehidupan masyarakat sudah mulai dimudahkan oleh mesin-mesin teknologi, hingga kemudahan yang diberikan oleh teknologi membawa kemajuan pada peradaban manusia. Akan tetapi, ternyata teknologi juga membawa dampak negatif di dalam masyarakat. Menurut Erich Fromm teknologi tidak lagi hanya menjadi sarana untuk mencapai tujuan, akan tetapi sudah menjadi tujuan dari masyarakat. Sedangkan menurut Kuntowijoyo, teknologi diciptakan oleh manusia untuk membantu pekerja industri agar memperoleh hasil yang efisien, akan tetapi hal sebaliknya yang terjadi adalah pekerja mengikuti kerja dari mesin teknologi. Teknologi yang seharusnya melayani manusia, menjadi manusia yang melayani teknologi. Bagi Erich Fromm dan Kuntowijoyo, masyarakat sedang dalam keadaan dehumanisasi. Oleh karena itu diperlukan humanisasi pada masyarakat, yang bertujuan untuk mengembalikan derajat kemanusiaan. Penelitian ini merupakan studi komparasi antara pemikiran Erich Fromm dan Kuntowijoyo mengenai konsep humanisasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menjelaskan keadaan masyarakat era teknologi dan mengumpulkan sumber data dari karya-karya Erich Fromm dan Kuntowijoyo, serta sumber lain yang sesuai dengan tema. Dalam studi komparasi, penelitian ini menggunakan metode komparasi simetris, dengan mengurai pemikiran Erich Fromm dan Kuntowijoyo satu persatu secara lengkap, kemudian membuat perbandingan dari pandangan kedua tokoh tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah perbedaan pemikiran Erich Fromm dan Kuntowijoyo yang terletak padalandasan berfikirnya, serta pemakaian aspek spiritual dalam mendukung konsep humanisasi. Sedangkan persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut terdapat dalam tiga aspek, yaitu humanisasi, pembebasan dan pemenuhan kebutuhan spiritual.
The vacuum of kidnapping
(2019)
All forms of kidnapping are presented in this paper, as is their psychodynamic underpinning affecting human behavior: abduction with or without ransom, political kidnapping, kidnapping by well-organized criminal groups, human trafficking and governmental kidnapping, which all highlight the important crises in the major decline in ethics and values. Apathy, fear, and insecurity lead to an increase in dependencies on substances, psychosomatic problems, and depression, which result from the suffering of this >vacuum of kidnapping.< The author wonders, >Has right to live in peace been kidnapped?<
This article analyzes the issues of alienation in the philosophy of Erich Fromm. The development of capitalism has changed the political, economic, and spiritual relationships in the society, and depression, misery, helplessness and solidarity are increasing in people. The philosopher has shown the causes of separation and alienation from the society and ways to get rid of it.
Kabe-don adalah sebuah adegan romantis yang banyak ditemui di manga, anime, dorama, maupun film Jepang dengan genre romantis. Adegan romantis tersebut ditunjukkan dengan pihak laki-laki memukulkan tangannya ke tembok sembari mengapit pihak perempuan di antara tubuh pihak laki-laki dan tembok. Fenomena kabe-don muncul dengan banyaknya perempuan Jepang yang ingin di-kabe-don, yaitu menjadi objek dari tindakan kabe-don. Idaman akan tindakan kabe-don tersebut merupakan keinginan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dimiliki oleh manusia yang oleh Erich Fromm disebut dengan kebutuhan manusia. Kebutuhan manusia terdiri dari kebutuhan akan >keterhubungan<, >keunggulan<, >keberakaran>, >kepekaan akan identitas<, dan >kerangka orientasi< yang dapat dipenuhi dengan dua cara, yaitu secara produktif dan secara nonproduktif. Pemenuhan kebutuhan secara produktif dilakukan dengan cinta, kreasi, pendewasaan, individualisasi, dan rasionalitas. Di sisi lain, pemenuhan kebutuhan secara nonproduktif dilakukan dengan narsisisme, destruksi, fiksasi, konformitas, dan irasionalitas. Selain itu, idaman perempuan Jepang akan kabe-don juga tidak lepas dari faktor kultural di mana perempuan tersebut berada. Oleh karena itu, dalam penelitian ini perlu dicari faktor kultural apa yang ada di balik idaman perempuan akan tindakan kabe-don menggunakan analisis tema budaya James Spradley. Tema budaya ditemukan dengan mencari benang merah dari adegan-adegan romantis yang ada. Setelah tema budayanya diketahui, dilakukan analisis menggunakan konsep-konsep kebutuhan manusia dalam teori psikoanalisis humanistik Erich Fromm dengan merelasikannya dengan tema budaya tersebut. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode netnografi, yaitu dengan mengumpulkan data-data yang relevan dari media-media daring dalam bentuk pengakuan, hasil survei maupun pemberitaan. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan analisis tema budaya dan psikoanalisis humanistik Erich Fromm. Dari hasil analisis, ditemukan bahwa amae merupakan tema budaya dari idaman perempuan Jepang akan tindakan kabe-don, dan idaman tersebut memungkinkan untuk menjadi pemenuhan kebutuhan manusia, baik secara produktif maupun secara nonproduktif.
A libertação dos oprimidos [The liberation of the oppressed] [La liberación de los oprimidos]
(2019)
Este texto teve por objetivo refletir sobre o conceito de liberdade e libertação, a partir do que disse Paulo Freire em Educação como Prática da Liberdade (que ele chama de >introdução à Pedagogia do Oprimido<) e Pedagogia do Oprimido. A nosso ver, como o conceito de liberdade foi especialmente sugestionado por Erich Fromm, trouxemos para o debate a sua problematização. Identificamos que Freire, de certa forma, vai preterindo a ideia de liberdade, usada inicialmente para significar as ideias de Fromm, e se volta especialmente às ideias marxistas. Isso demonstra o investimento de Freire na libertação dos oprimidos, onde reside quase todo propósito de sua pedagogia, cuja principal obra, Pedagogia do Oprimido, está completando cinquenta anos.