Refine
Language
Document Type
- Articles (338)
- Dissertations (57)
- Reviews (11)
- Books (10)
- Collections (4)
- Forewords (4)
- Journals (3)
- Interviews (2)
Year of publication
- 2017 (429) (remove)
Alan Watts’ seminal text >Psychotherapy East and West<was authored near Humanistic Psychology’s beginnings, also a transformational time for psychotherapy theory and practice. Watts fostered appreciation for Eastern philosophical traditions, particularly in relation to self, identity, and counterculture. In this article, contributions of innovative thinkers cited by Watts, including Gregory Bateson, Erich Fromm, Jay Haley, George Herbert Mead, Rollo May, and Carl Rogers, are highlighted and historically situated toward tracking threads of contemporary influence vis-à-vis social construction, brief therapy, and therapeutic simplicity. The article begins with a brief note on Watts’ countercultural positioning.
This article seeks to problematize the issue of pathology and to render it intelligible. I elucidate a cultural-political model of a) why pathology is prevalent in numerous forms and social domains, and b) interventions for ameliorating widespread pathology, and ultimately eradicating it. This model draws on the work of Erich Fromm that articulates how pathology is characteristic of normal social, psychological activity in many or most societies. This article also discusses two ways in which prevalent pathology is misunderstood, and not corrected, eradicated, or prevented. One misinterpretation is the standard biomedical model of pathology. A second misinterpretation is a liberal, humanistic, postmodern position that denies all pathology and insists that behavior is a positive expression of choice and agency, which must be validated and accepted rather than corrected.
Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh keinginan penulis untuk merefleksikan situasi zaman dewasa ini. Penulis melihat bahwa situasi zaman dewasa ini semakin didominasi oleh keinginan untuk memiliki lebih. Keinginan ini sangat tidak masuk akal karena orang didorong untuk memiliki sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi kebutuhannya. Bahkan, manusia modern cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu yang mereka miliki. Tujuan hidup manusia direduksi hanya pada kenikmatan materi yang tiada habisnya. Pengaruh kapitalisme modern yang merasuk ke dalam semua aspek kehidupan manusia menjadi penyebab terjadinya situasi ini. Kehadiran kapitalisme mengubah orientasi manusia pada materi, apalagi dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih. Manusia seolah bebas menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya. Namun, sebenarnya pilihan-pilihan tersebut telah ditentukan oleh sistem yang berlaku. Hal inilah yang menyebabkan manusia teralienasi dari kehidupannya. Konsumsi dan alienasi menjadi karakter yang utama di abad modern ini. Salah satu filsuf yang mengkritik situasi zaman ini ialah Erich Fromm. Ia mengajukan gagasannya tentang konsep being yang dibahas dalam >To Have or To Be< (1976). Rumusan masalah yang ingin dijawab dalam karya tulis ini ialah apa itu konsep being dalam >To Have or To Be< Erich Fromm. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menganalisa pemikiran Erich Fromm secara kritis dan sistematis. Dengan menjawab pertanyaan ini, penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan kritik sekaligus sumbangsih bagi masyarakat dewasa ini. Metode penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini ialah studi pustaka dengan sumber utama dari buku >To Have or To Be< (1976) karya Erich Fromm. Dari hasil studi pustaka, penulis menemukan bahwa konsep being yang diajukan oleh Erich Fromm berkaitan dengan dua modus eksistensi manusia yaitu being dan having. Keduanya menentukan karakter sosial dan karakter individu manusia. Orientasi hidup manusia juga berakar dari kedua modus eksistensi tersebut. Manusia dapat menentukan pilihan untuk menjadi semakin being atau semakin having. Erich Fromm mendefiniskan being sebagai sebuah proses, aktivitas, dan gerak. Definisi ini menunjukkan bahwa kehidupan bukan sesuatu yang berhenti, tetapi terus berproses. Erich Fromm mengartikan being dalam dua pengertian. Pertama, being sebagai eksistensi yang berbeda dengan having. Being mencakup keseluruhan realitas manusia, sedangkan having hanya merujuk pada benda. Kedua, being sebagai melampaui sesuatu yang nampak. Artinya, manusia dapat menyembunyikan diri di balik penampilan fisik dan perilakunya. Dengan demikian, being lebih rumit dan kompleks dibandingkan dengan having karena ia bukan sesuatu yang nampak seperti benda. Selanjutnya, Erich Fromm menunjukkan sifat utama being yaitu aktif. Keaktifan diartikan bukan sebagai aktivitas fisik, tetapi aktivitas batin. Syarat being adalah mandiri, bebas, dan kritis. Dalam hal ini diperlukan penggunaan akal budi untuk dapat memahami realitas manusia secara lebih mendalam. Selain itu, relasi dengan sesama juga membantu mengungkapkan realitas hidup yang sebenarnya. Erich Fromm juga menunjukkan aspek dari being yaitu kemauan untuk memberi, berbagi, dan berkurban. Aspek being ini lebih banyak ditemukan dalam situasi perang dibandingkan situasi damai. Pemikiran Erich Fromm ini bermuara pada terwujudnya sebuah masyarakat baru yang disebut dengan masyarakat being. Dari masyarakat being inilah akan muncul manusia-manusia baru yang mendasarkan hidupnya pada being. Manusia baru ini tidak menggantungkan hidupnya pada benda, tetapi pada dirinya sendiri. Setiap tindakan yang dilakukan berangkat dari dalam dirinya, bukan dari luar dirinya. Masyarakat being mengarahkan manusia untuk dapat mencapai kebahagiaan sejati. Erich Fromm mengartikan kebahagiaan sejati sebagai sebuah proses bertumbuh dalam kehidupan ini. Penulis menemukan tiga relevansi dari konsep being Erich Fromm bagi masyarakat dewasa ini. Pertama, modus eksistensi being menjadi jawaban atas situasi masyarakat yang cenderung didominasi oleh modus eksistensi having. Kedua, relasi menjadi syarat penting dalam memahami sebuah realitas khususnya dalam memilih pemimpin. Ketiga, pilihan atas modus eksistensi being membawa manusia kepada kebahagiaan sejati. Konsep being juga sangat relevan dengan nilai-nilai Kristiani. Hal ini dapat ditemukan dalam kutipan-kutipan kitab suci yang menekankan pentingnya menggantungkan diri bukan pada materi.
This chapter explores a fundamental alternative philosophy of the subject. Drawing inspiration from Adorno’s critical theory and from Fromm’s social psychology, Smith offers a contemporary, cross-disciplinary study of the subject, including the individual’s relation with society and social development. What emerges is a deeply insightful approach to understanding social interaction, developmental psychology and the problem of ego colonization. Enriching arguments laid out in early chapters, Smith employs a methodologically innovative conception of the development of the subject: from its (de)formation and early childhood development to more practical issues such as compassion fatigue, deficits of reason and empathy. Smith shows how negative social conditions foster emotionally overwhelmed individuals – a deeply repressed, closed, traumatized subject. This chapter also covers other important practical issues, such as the problem of economic coercion, pathological reproduction, cycles of domination and violence, and the everyday effects of >needless suffering< on the psyche.
In this paper, I compare two theories of ideal love, the Platonic and Frommian, and argue that they give opposite advices to lovers in practice. While Plato emphasizes >whom to love< and urges one to continuously look for a better beloved, Erich Fromm emphasizes >how to love< and urges one to grow and change with one’s imperfect lover. Using the movie >Her< as an example, I explain why an ideal love is extremely difficult to attain under the guidance of the Platonic and Frommian ideals. In an imperfect love, to leave or to stay seems to be a question with no simple answer.
The authoress of this article has attempted to read the play by an American playwright Eugene O’Neill in the light of the concept of love as proposed by Erich Fromm in 1956. This German philosopher argued that the only way to escape loneliness, a feeling to which everybody is doomed, is to unite oneself with another person in love. In a popular publication, titled >The Art of Loving<, Fromm describes various forms of love. >Desire Under the Elms< – a play written more than three decades before Fromm’s publication – seems to illustrate these philosophical considerations. Such a view on O’Neill’s work allows to notice its human dimension, and perceive its protagonists as an embodiment of the universal human condition.
[Chinese abstract not available] With the American psychologist Erich Fromm's humanistic ethics as a point of reference, this article analyzes >The Winter of Our Discontent< (1961), John Steinbeck's final work of fiction. This novel focuses on protagonist Ethan Allen Hawley as he succumbs to the influence of corrupt social values and thereby fails to actualize his primary potentiality for goodness. At the novel's end, however, as he is on the verge of suicide, he thinks about the innocence of his daughter, Ellen, and experiences an epiphany of light that leads to a realization of love for self and others. Overcoming his sense of alienation from the good, he embarks on a course of active freedom that will enable him to go on with his life. Steinbeck's exquisite depiction of Ethan's moral development reflects his own ethical concerns about the well-being of his beloved America. [Translation: www.cnki.net, 9/2023]