Refine
Language
Document Type
- Articles (271)
- Dissertations (44)
- Books (12)
- Reviews (10)
- Forewords (5)
- Collections (4)
- Interviews (3)
Year of publication
- 2015 (349) (remove)
Alienasi merupakan istilah yang telah banyak digunakan oleh para pemikir sejak masa lampau, mulai dari Hegel, Karl Marx sampai Sartre. Dalam memaknainya, masing-masing tokoh berbicara dalam ruang lingkup kajian yang berbeda. Hegel mengatakan bahwa pembahasan alienasi ini penting dalam kaitannya dengan munculnya kesadaran atau perasaan terhadap keliyanan. Karl Marx berbicara tentang alienasi ketika ia prihatin dengan nasib para buruh yang dieksploitasi kaum borjuis. Sedangkan Sartre membicarakaan alienasi dalam hubungannnya dengan kebebasan manusia. Dari banyak tokoh tersebut, Erich Fromm sebagai seorang pemikir turut menyumbangkan kegelisahannya terhadap kondisi manusia modern yang dalam analisisnya, ia menggunakan konsep alienasi sebagai titik sentralnya. Fromm terpengaruh dengan banyak tokoh seperti Hegel dan Karl Marx, tetapi juga mengkritik, bahwa aplikasi tentang penanggulangan kondisi keterasingan manusia selalu mengalami jalan buntu karena masing-masing pemikir hanya memfokuskan analisisnya terhadap satu aspek permasalahan saja. Fromm menawarkan sebuah ide bahwa untuk menyembuhkan masyarakat yang sakit harus dilakukan perubahan bukan hanya dalam satu aspek kehidupan, tetapi perubahan yang simultan dalam seluruh bidang seperti bidang industri dan organisasi politik, spiritual, orientasi filosofis, struktur karakter manusia dan aktifitas kebudayaan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode library research dengan analisis deskriptif. Penulis dalam mengumpulkan data dengan membagi data primer dan sekunder. Teknik yang digunakan dalam analisa data dalam penelitian ini adalah dengan cara memahami tesis-tesis dari pemikiran tokoh bersangkutan, lalu mendeskripsikan dan menafsirkan pemikiran tokoh tersebut. Dalam analisis pemikiran yang telah dipaparkan juga digunakan analisa filosofis yang melingkupi pemikiran tersebut serta fenomena modern saat ini. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa Fromm berusaha menggenapi pemikiran para tokoh terdahulu dengan melakukan banyak kritik dan tambahan. Fromm beranggapan bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, kesadaran mesti dimulai dari diri sendiri. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang sadar dan unggul.
Alienasi merupakan istilah yang telah banyak digunakan oleh para pemikir sejak masa lampau, termasuk Hegel dan Karl Marx. Dalam memaknainya, masing-masing tokoh berbicara dalam ruang lingkup kajian yang berbeda. Hegel mengatakan bahwa pembahasan alienasi ini penting dalam kaitannya dengan munculnya kesadaran atau perasaan terhadap keliyanan. Karl Marx berbicara tentang alienasi ketika IA prihatin dengan nasib para buruh yang dieksploitasi kaum borjuis. Sebagaimana dijelaskan dalam tulisan ini, Fromm terpengaruh dengan kedua tokoh tersebut, tetapi juga mengkritik, bahwa aplikasi tentang penanggulangan kondisi keterasingan manusia selalu mengalami jalan buntu karena masing-masing pemikir hanya memfokuskan analisisnya terhadap satu aspek permasalahan saja. Fromm menawarkan sebuah ide bahwa untuk menyembuhkan masyarakat modern yang sakit harus dilakukan perubahan bukan hanya dalam satu aspek kehidupan, tetapi perubahan yang simultan dalam seluruh bidang seperti bidang industri dan organisasi politik, spiritual, orientasi filosofis, struktur karakter manusia dan aktifitas kebudayaan. Fromm beranggapan bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, kesadaran mesti dimulai dari diri sendiri. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang sadar dan unggul.
Through the use of Paulo Freire’s >Pedagogy of the Oppressed<, bell hooks >Teaching to Transgress<, and Erich Fromm’s >Marx’s Concept of Man<, amongst other works, this analysis will attempt to analyze the subject/object, public/private, and the masculine/feminine dichotomies that arise in nineteenth-century England. Using Charles Dickens’ >Hard Times< as a basis for this discourse analysis, I will explore the following: Patriarchy and capitalism as interconnected systems of domination that (re)produce and purposefully instill Marx’s concept of false consciousness and alienation in an attempt to train, as Victorian economist Andrew Ure explains in his >Philosophy of Manufactures<, >human beings to renounce their desultory habits of work and to identity themselves with the unvarying regulatory of the complex automaton< (Ure 15). Works Cited Ure, Andrew. The Philosophy of Manufactures; or, An Exposition of the Scientific, Moral, and Commercial Economy of the Factory System of Great Britain. London: C. Knight, 1835. Google Books. Google, 28 June 2007. Web. 2 Apr. 2015.
[First page] Critical Theory as a philosophical orientation has provided a radical stimulus to a contemporary generation of thinkers by combining the Hegelian and Marxian dialectical methods with Marx's critique of ideology. This has given rise to a distinctively powerful lens of social analysis for the project of emancipation in the multifarious issues of power struggle, ideology, language, discourse, technology, instrumental reason, aesthetic industry, etc. in social, economic, political, and cultural spheres of contemporary society. The revolutionary insights of Hegel and Marx in Critical Theory however, do not imply a closed system of thought among its practitioners; in fact, at times, it has been discordant, however vibrant. In this collection of correspondence, for instance, Marcuse disagrees with Dunayevskaya on the latter's interpretation and application of Hegel's dialectics and absolute idea/mind, while Fromm accused Marcuse of callousness towards moral qualities in political figures similar to that of Lenin (xviii), and Marcuse likewise attacked Fromm on his Freudian revisionism and liberalism regarding interpretations on Freudian psychoanalysis versus Marxist social analysis.
References to the disagreements between the Frankfurt School's intellectual leaders Max Horkheimer and Theodor Adorno with Herbert Marcuse (xvii), on the one hand, and with Erich Fromm (xix), on the other hand, were also alluded to. Nonetheless, by and through persistent critical dialogue and exchange-truly a real practice of dialectics-the critical theorists in different perspectives of the Marxist-Humanist, Hegelian-Marxist, and Socialist Humanist standpoints, have preserved and has brought to greater heights. ...
Fromm, Marx, and Humanism
(2015)
Fromm's early work connecting Marx and Freud as part of the Frankfurt School has gotten inordinate attention, while his later work interpreting Marx as a humanist, democratic, and anti-totalitarian thinker has received short shrift in recent decades. This paper will examine works like Marx's Concept of Man (1961a) and Socialist Humanism (1965a) in terms of their context, their impact, and the controversies they stirred up with Cold War liberals like Sidney Hook and the young Richard Bernstein. Fromm's differences with Marcuse over humanism are also explored. In addition, this paper discusses Fromm's correspondence with the Marxist feminist and humanist Raya Dunayevskaya and his connections with Eastern European dissident Marxists. Fromm's persistent dialogue with Marx during the last two decades of his life had a wide impact on the 1960s generation and beyond. At a time when the crisis of capitalism has led to a new interest in Marx, this after the collapse of the Soviet Union, it also speaks to us today.
O artigo analisa a representação dos transtornos psiquiátricos no jornal Folha de S. Paulo. O corpus é constituído por 29 matérias do ano de 2011. O estudo toma por base a teoria crítica e a psicanálise que fundamentam a concepção frankfurtiana do modelo psíquico do homem liberal. O artigo aborda os autores Erick Fromm (1984), Max Horkheimer (1976; 1985), Theodor Adorno (1992), enfoca os conceitos de sociedade unidimensional de Herbert Marcuse (1973), e patologia da modernidade de Jürgen Habermas (FREITAG, 1995). A análise revela a predominância das depressões, pânico e toxicomanias.
Penelitian ini memfokuskan pada pembandingan struktur naratif dan sinematik antara cerpen >Cinta di Saku Belakang Celana< dan film >Cinta di Saku Celana< karya Fajar Nugros. Selain itu, juga dilakukan pembandingan mengenai perilaku, peristiwa, dialog/monolog karakter, simbol yang ada di dalam cerpen dan film. Tujuannya adalah untuk mengetahui konsep cinta yang terdapat dalam cerpen dan film, serta bagaimana representasi konsep cinta dari cerpen ke film. Hal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya perbedaan konsep cinta yang terdapat dalam kedua karya tersebut yang masih menimbulkan kebingungan bagi para pembaca. Kajian ini menggunakan pendekatan sastra bandingan. Penelitian ini dikaitkan dengan hierarki kebutuhan Abraham Maslow, objek cinta menurut Erich Fromm, dan cinta dalam tasawuf menurut Rabi’ah Al Adawiyah. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis komparatif. Data dan sumber data adalah file film >Cinta di Saku Celana< dan buku kumpulan cerpen karya Fajar Nugros berjudul >I Didn’t Lose My Heart, I Sold It on Ebay!< Temuan penelitian menunjukkan bahwa konsep cinta yang terdapat pada cerpen adalah cinta kepada harta/materi, sedangkan pada film adalah cinta kepada wanita. Representasi konsep cinta dari cerpen >Cinta di Saku Belakang Celana< ke film >Cinta di Saku Celana< mengalami pergeseran menjadi sesuatu yang lebih realistis sehingga mampu diterima oleh penonton. Atas temuan itu dapat disimpulkan bahwa meskipun sebuah film berasal dari cerpen yang memiliki cerita sama, tetapi tetap saja terjadi pergeseran setelah diekranisasi. Pergeseran ini terjadi karena adanya perbedaan sasaran antara cerpen dan film. Sasaran cerpen adalah pembaca, sedangkan sasaran film adalah penonton. Penelitian ini memfokuskan pada pembandingan struktur naratif dan sinematik antara cerpen >Cinta di Saku Belakang Celana< dan film >Cinta di Saku Celana< karya Fajar Nugros. Selain itu, juga dilakukan pembandingan mengenai perilaku, peristiwa, dialog/monolog karakter, simbol yang ada di dalam cerpen dan film. Tujuannya adalah untuk mengetahui konsep cinta yang terdapat dalam cerpen dan film, serta bagaimana representasi konsep cinta dari cerpen ke film. Hal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya perbedaan konsep cinta yang terdapat dalam kedua karya tersebut yang masih menimbulkan kebingungan bagi para pembaca. Kajian ini menggunakan pendekatan sastra bandingan. Penelitian ini dikaitkan dengan hierarki kebutuhan Abraham Maslow, objek cinta menurut Erich Fromm, dan cinta dalam tasawuf menurut Rabi’ah Al Adawiyah. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis komparatif. Data dan sumber data adalah file film >Cinta di Saku Celana< dan buku kumpulan cerpen karya Fajar Nugros berjudul >I Didn’t Lose My Heart, I Sold It on Ebay!< Temuan penelitian menunjukkan bahwa konsep cinta yang terdapat pada cerpen adalah cinta kepada harta/materi, sedangkan pada film adalah cinta kepada wanita. Representasi konsep cinta dari cerpen >Cinta di Saku Belakang Celana< ke film >Cinta di Saku Celana< mengalami pergeseran menjadi sesuatu yang lebih realistis sehingga mampu diterima oleh penonton. Atas temuan itu dapat disimpulkan bahwa meskipun sebuah film berasal dari cerpen yang memiliki cerita sama, tetapi tetap saja terjadi pergeseran setelah diekranisasi. Pergeseran ini terjadi karena adanya perbedaan sasaran antara cerpen dan film. Sasaran cerpen adalah pembaca, sedangkan sasaran film adalah penonton.