TY - GEN A1 - Sutikna, Nana T1 - Dimensi Ontologis Kebebasan Menurut Erich Fromm Relevansinya bagi Pengembangan Pers di Indonesia [Ontological Dimensions of Freedom According to Erich Fromm, Its Relevance to the Development of the Press in Indonesia], Doctoral dissertation, Philosophy, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Java, Indonesia 2020, Indonesian. N2 - Penelitian ini berjudul >Dimensi Ontologis Kebebasan Menurut Erich Fromm Relevansinya bagi Pengembangan Pers di Indonesia<. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perubahan sosial yang terjadi di Indonesia akibat reformasi, khususnya berkaitan dengan persoalan kebebasan pers. Kebebasan pers, saat ini, menjadi sarana strategis dalam mengembangkan kehidupan kebangsaan yang lebih demokratis. Namun banyak indikasi menunjukkan bahwa, makna kebebasan pers kurang dipahami, sehingga sebagian di antara ribuan penerbitan tidak lagi berperan sebagai pers yang bertanggung jawab. Oleh karena itu, sebuah pemahaman yang komprehensif tentang kebebasan manusia dan maknanya bagi kebebasan pers di Indonesia sangatlah diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali dan merumuskan pandangan Erich Fromm tentang makna kebebasan manusia, melakukan analisis atas dimensi ontologis yang terkandung di dalam konsep kebebasan Erich Fromm, melakukan refleksi untuk menemukan relevansi kebebasan Erich Fromm dengan pengembangan pers di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian pustaka yang termasuk di dalam penelitian historis-faktual, atau penelitian tentang problema filosofis. Objek material penelitian ini adalah konsep kebebasan manusia yang dikemukakan oleh Erich Fromm, sedangkan objek formalnya adalah ontologi. Unsur metodis pengkajian yang dipakai adalah deskripsi, koherensi internal, kesinambungan historis, analitika bahasa, abstraksi, hermenutika, dan heuristika. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Erich Fromm mengartikan kebebasan sebagai orientasi struktur karakter dan sebagai kemampuan untuk memilih. Manusia modern telah berhasil meraih kebebasan negatif, >freedom from<, yakni bebas dari penentuan naluri dan belenggu alam, namun belum mampu merealisasikan kebebasan positif >freedom to< yakni untuk mencapai realisasi diri yang produktif dan kemandirian. (2) Dimensi ontologis pemikiran kebebasan Erich Fromm adalah dimensi otonomi kebebasan; dimensi dinamika kebebasan; dan materialitas kebebasan. Dilihat dari dimensi otonomi, kebebasan positif mengimplikasikan prinsip bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi daripada diri-individu yang unik. Dilihat dari dimensi dinamika, kebebasan berkembang sesuai dengan struktur karakter manusia/masyarakat. Dilihat dari dimensi materialitas, kebebasan lebih berorientasi pada upaya pencapaian kenikmatan materi dan penguasaan alam. material. (3) Relevansi konsep kebebasan Erich Fromm bagi pengembangan kebebasan pers di Indonesia adalah: (a) bahwa dalam pengembangan pers di Indonesia, kebebasan pers dilandaskan pada dimensi otonomi kebebasan. Pers yang otonom adalah pers yang tidak ditunggangi 0leh kepentingan di luar pers; (b) bahwa kebebasan pers harus berkembang secara dinamis sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman tanpa kehilangan karakter, identitas diri, dan idealism. (c) relevansi dimensi ontologis materialitas adalah bahwa orientasi kebebasan pers diarahkan pada peningkatan nilai-nilai yang bersifat humanis sehingga mampu mewujudkan manusia mandiri yang dapat menggunakan akal, dan kesadarannya sebagai ukuran penilaian. N2 - The title of this research is >Ontological Dimensions of Freedom According to Erich Fromm, Its Relevance to the Development of the Press in Indonesia<. The research was based on the social changes that occurred in Indonesia due to the reform era, especially related to the issue of the freedom of the press. Freedom of the press, this time, holding a strategic tool in developing a more democratic national life. However, many indications show that among the press itself, the meaning of freedom of the press is poorly understood, so that most of the thousands of publishing are no longer acting as a responsible press. Therefore, a comprehensive understanding about human freedom and its meaning for the freedom of the press in Indonesia is required. The purpose of this study is to explore and formulate Erich Fromm's thought about the meaning of human freedom; to analyze the ontological dimension in the Erich Fromm's concept of freedom; and to reflect in order to discover the relevance of Erich Fromm's concept of freedom with the development of the press in Indonesia. This research is a library research that is included in the historical-factual research, or research on a philosophical problems. Material object in this study is the concept of human freedom expressed by Erich Fromm, while the formal object is ontology. The methodical element used are descriptions, internal coherence, historical continuity, language analytic, abstraction, hermeneutics, and heuristics. The results of this study are described as follows: (1) Erich Fromm defined freedom as the orientation of the character structure and as an ability to choose. Modern humans have achieved negative freedom, – >freedom from< –, i.e. freedom from the determination of instinct and the shackle of nature, but has not been able to achieve a positive freedom – >freedom to< –, i.e. to achieve a productive self-realization and independence. (2) Ontological dimensions that can be found in the Erich Fromm's thought of freedom are the dimension of autonomy; the dimension of the dynamics of freedom; and the dimensions of materiality. In the meaning of the dimensions of autonomy, positive freedom implies a principle that there is no higher power than the unique of individual. Seen from the dimension of dynamics of freedom, freedom developed in accordance with the structure of human society's character, and the meaning of the dimensions of materiality, freedom is oriented to pursue the material pleasure and to take control the nature. (3) The relevance of the Erich Fromm's concept of freedom to the development of press freedom in Indonesia are: (a) that in the development of the press in Indonesia, freedom of the press should be based on the dimensions of freedom autonomy. A freedom press is a press that no longer plagued by the interests outside the press. (b) the freedom of the press must dynamically evolve in accordance with the challenges during times without losing its character, identity, and ideals, (c) the relevance of the ontological dimensions of materiality is that the orientation of the freedom of the press aimed at increasing humanist values so as to realize an autonomous human, that can use their reason and consciousness as a measure of evaluation. Y1 - 2013 ER - TY - GEN A1 - Sutikna, Nan T1 - Keterasingan manusia (alienasi) menurut Erich Fromm (Human alienation according to Erich Fromm), Penerbit (Yogyakarta), Universitas Gadjah Mada, 1996, 165 pp. Y1 - 1996 ER - TY - GEN A1 - Ainun Nadhiro, Nufi T1 - Konsep Alienasi menurut Erich Fromm [The Concept of Alienation according to Erich Fromm], Bachelor thesis, Islamic Philosophy, Fakultas Ushuluddin and Islamic Thought, Sunan Kalijaga State Islamic University Yogyakarta, Indonesia 2015, 78 pp., Indonesian - missing pages. N2 - Alienasi merupakan istilah yang telah banyak digunakan oleh para pemikir sejak masa lampau, mulai dari Hegel, Karl Marx sampai Sartre. Dalam memaknainya, masing-masing tokoh berbicara dalam ruang lingkup kajian yang berbeda. Hegel mengatakan bahwa pembahasan alienasi ini penting dalam kaitannya dengan munculnya kesadaran atau perasaan terhadap keliyanan. Karl Marx berbicara tentang alienasi ketika ia prihatin dengan nasib para buruh yang dieksploitasi kaum borjuis. Sedangkan Sartre membicarakaan alienasi dalam hubungannnya dengan kebebasan manusia. Dari banyak tokoh tersebut, Erich Fromm sebagai seorang pemikir turut menyumbangkan kegelisahannya terhadap kondisi manusia modern yang dalam analisisnya, ia menggunakan konsep alienasi sebagai titik sentralnya. Fromm terpengaruh dengan banyak tokoh seperti Hegel dan Karl Marx, tetapi juga mengkritik, bahwa aplikasi tentang penanggulangan kondisi keterasingan manusia selalu mengalami jalan buntu karena masing-masing pemikir hanya memfokuskan analisisnya terhadap satu aspek permasalahan saja. Fromm menawarkan sebuah ide bahwa untuk menyembuhkan masyarakat yang sakit harus dilakukan perubahan bukan hanya dalam satu aspek kehidupan, tetapi perubahan yang simultan dalam seluruh bidang seperti bidang industri dan organisasi politik, spiritual, orientasi filosofis, struktur karakter manusia dan aktifitas kebudayaan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode library research dengan analisis deskriptif. Penulis dalam mengumpulkan data dengan membagi data primer dan sekunder. Teknik yang digunakan dalam analisa data dalam penelitian ini adalah dengan cara memahami tesis-tesis dari pemikiran tokoh bersangkutan, lalu mendeskripsikan dan menafsirkan pemikiran tokoh tersebut. Dalam analisis pemikiran yang telah dipaparkan juga digunakan analisa filosofis yang melingkupi pemikiran tersebut serta fenomena modern saat ini. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, dapat disimpulkan bahwa Fromm berusaha menggenapi pemikiran para tokoh terdahulu dengan melakukan banyak kritik dan tambahan. Fromm beranggapan bahwa untuk mewujudkan masyarakat yang sehat, kesadaran mesti dimulai dari diri sendiri. Hal ini sesuai dengan fitrah manusia sebagai makhluk yang sadar dan unggul. N2 - Alienation is a term that has been used by thinkers since the past, from Hegel, Karl Marx to Sartre. In interpreting it, each character speaks in a different scope of study. Hegel said that the discussion of alienation is important in relation to the emergence of awareness or feelings towards otherness. Karl Marx spoke of alienation when he was concerned with the fate of the workers who were being exploited by the bourgeoisie. Meanwhile, Sartre talks about alienation in relation to human freedom. Of these many figures, Erich Fromm as a thinker also contributes his anxiety to the modern human condition in which in his analysis he uses the concept of alienation as the central point. Fromm is influenced by many figures such as Hegel and Karl Marx, but also criticizes that the application of overcoming the condition of human alienation always faces a dead end because each thinker only focuses his analysis on one aspect of the problem. Fromm offers an idea that to heal a sick society, changes must be made not only in one aspect of life, but simultaneous changes in all fields such as the fields of industry and political organization, spiritual, philosophical orientation, structure of human character and cultural activities. In this study, the authors used the library research method with descriptive analysis. The author in collecting data by dividing primary and secondary data. The technique used in data analysis in this study is by understanding the theses of the character's thoughts, then describing and interpreting the character's thoughts. In the analysis of the thoughts that have been described, a philosophical analysis is also used that encompasses these thoughts as well as today's modern phenomena. Based on the research that the writer has done, it can be concluded that Fromm tries to fulfill the thoughts of the previous figures by making lots of criticisms and additions. Fromm believes that to create a healthy society, awareness must start from oneself. This is in accordance with human nature as a conscious and superior being. [Google translator, 12/2022] Y1 - 2015 ER - TY - GEN A1 - Respati, Robertus Theo Elno T1 - Konsep being dalam >To Have Or To Be< Erich Fromm Concept of Being in >To Have Or To Be< Erich Fromm, Thesis (Undergraduate), Theology, Faculty of Philosophy, Widya Mandala Catholic University, Surabaya, East Java, Indonesia 2017. repository.ukwms.ac.id/id/eprint/11002/1/ABSTRAK.pdf] - Only summary available. N2 - Penulisan skripsi ini dilatarbelakangi oleh keinginan penulis untuk merefleksikan situasi zaman dewasa ini. Penulis melihat bahwa situasi zaman dewasa ini semakin didominasi oleh keinginan untuk memiliki lebih. Keinginan ini sangat tidak masuk akal karena orang didorong untuk memiliki sesuatu yang sebenarnya bukan menjadi kebutuhannya. Bahkan, manusia modern cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan sesuatu yang mereka miliki. Tujuan hidup manusia direduksi hanya pada kenikmatan materi yang tiada habisnya. Pengaruh kapitalisme modern yang merasuk ke dalam semua aspek kehidupan manusia menjadi penyebab terjadinya situasi ini. Kehadiran kapitalisme mengubah orientasi manusia pada materi, apalagi dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih. Manusia seolah bebas menentukan pilihan-pilihan dalam hidupnya. Namun, sebenarnya pilihan-pilihan tersebut telah ditentukan oleh sistem yang berlaku. Hal inilah yang menyebabkan manusia teralienasi dari kehidupannya. Konsumsi dan alienasi menjadi karakter yang utama di abad modern ini. Salah satu filsuf yang mengkritik situasi zaman ini ialah Erich Fromm. Ia mengajukan gagasannya tentang konsep being yang dibahas dalam >To Have or To Be< (1976). Rumusan masalah yang ingin dijawab dalam karya tulis ini ialah apa itu konsep being dalam >To Have or To Be< Erich Fromm. Pertanyaan ini dapat dijawab dengan menganalisa pemikiran Erich Fromm secara kritis dan sistematis. Dengan menjawab pertanyaan ini, penulis berharap agar skripsi ini dapat memberikan kritik sekaligus sumbangsih bagi masyarakat dewasa ini. Metode penulisan yang digunakan dalam karya tulis ini ialah studi pustaka dengan sumber utama dari buku >To Have or To Be< (1976) karya Erich Fromm. Dari hasil studi pustaka, penulis menemukan bahwa konsep being yang diajukan oleh Erich Fromm berkaitan dengan dua modus eksistensi manusia yaitu being dan having. Keduanya menentukan karakter sosial dan karakter individu manusia. Orientasi hidup manusia juga berakar dari kedua modus eksistensi tersebut. Manusia dapat menentukan pilihan untuk menjadi semakin being atau semakin having. Erich Fromm mendefiniskan being sebagai sebuah proses, aktivitas, dan gerak. Definisi ini menunjukkan bahwa kehidupan bukan sesuatu yang berhenti, tetapi terus berproses. Erich Fromm mengartikan being dalam dua pengertian. Pertama, being sebagai eksistensi yang berbeda dengan having. Being mencakup keseluruhan realitas manusia, sedangkan having hanya merujuk pada benda. Kedua, being sebagai melampaui sesuatu yang nampak. Artinya, manusia dapat menyembunyikan diri di balik penampilan fisik dan perilakunya. Dengan demikian, being lebih rumit dan kompleks dibandingkan dengan having karena ia bukan sesuatu yang nampak seperti benda. Selanjutnya, Erich Fromm menunjukkan sifat utama being yaitu aktif. Keaktifan diartikan bukan sebagai aktivitas fisik, tetapi aktivitas batin. Syarat being adalah mandiri, bebas, dan kritis. Dalam hal ini diperlukan penggunaan akal budi untuk dapat memahami realitas manusia secara lebih mendalam. Selain itu, relasi dengan sesama juga membantu mengungkapkan realitas hidup yang sebenarnya. Erich Fromm juga menunjukkan aspek dari being yaitu kemauan untuk memberi, berbagi, dan berkurban. Aspek being ini lebih banyak ditemukan dalam situasi perang dibandingkan situasi damai. Pemikiran Erich Fromm ini bermuara pada terwujudnya sebuah masyarakat baru yang disebut dengan masyarakat being. Dari masyarakat being inilah akan muncul manusia-manusia baru yang mendasarkan hidupnya pada being. Manusia baru ini tidak menggantungkan hidupnya pada benda, tetapi pada dirinya sendiri. Setiap tindakan yang dilakukan berangkat dari dalam dirinya, bukan dari luar dirinya. Masyarakat being mengarahkan manusia untuk dapat mencapai kebahagiaan sejati. Erich Fromm mengartikan kebahagiaan sejati sebagai sebuah proses bertumbuh dalam kehidupan ini. Penulis menemukan tiga relevansi dari konsep being Erich Fromm bagi masyarakat dewasa ini. Pertama, modus eksistensi being menjadi jawaban atas situasi masyarakat yang cenderung didominasi oleh modus eksistensi having. Kedua, relasi menjadi syarat penting dalam memahami sebuah realitas khususnya dalam memilih pemimpin. Ketiga, pilihan atas modus eksistensi being membawa manusia kepada kebahagiaan sejati. Konsep being juga sangat relevan dengan nilai-nilai Kristiani. Hal ini dapat ditemukan dalam kutipan-kutipan kitab suci yang menekankan pentingnya menggantungkan diri bukan pada materi. N2 - The background of this paper is motivated by the desire of the author to reflect on the situation of today. The author sees that the situation of the present age is increasingly dominated by the desire to have more. This desire is very unreasonable because people are encouraged to have something that is not really his needs. In fact, modern humans tend to identify themselves with something they have. The purpose of human life is reduced only to the endless pleasures of matter. The influence of modern capitalism that permeates all aspects of human life is responsible for this situation. The presence of capitalism alters the human orientation of matter, especially with the increasingly sophisticated technological development. Humans apparently seem to be free to make choices in life. But in fact these choices have been determined by the prevailing system. This is what causes humans to be alienated from life. Consumption and alienation became the main characteristics in this modern age. One of the philosophers who criticize the present-day situation is Erich Fromm. He proposed his idea of the concept of being discussed in >To Have or To Be< (1976). The formulation of the problem to be answered in this paper is what is the concept of being in >To Have or To Be< Erich Fromm. This question can be answered by analyzing Erich Fromm's thinking critically and systematically. By answering this question, the author hopes that this thesis can provide criticism as well as contribution to society today. The method used in this paper is literature study with the main source of Erich Fromm's >To Have or To Be< (1976) book. From the results of literature study, the authors found that the concept of being proposed by Erich Fromm relates to two modes of human existence of being and having. Both determine the social character and individual human character. The orientation of human life also stems from both modes of existence. Humans can make choices between more and more being or more and more having. Erich Fromm defines being as a process, activity, and movement. This definition shows that life is not something unchangeable, but continues to proceed. Erich Fromm defines being in two senses. First, being as a different existence fromm having. Being encompasses the whole human reality, while having only refers to things. Second, being as beyond what is apparent. That is, humans can hide behind their physical appearance and behavior. Thus, being is more complex and difficult than having because it refers to thing. Furthermore, Erich Fromm shows the main nature of being active. Activity is defined not as a physical activity, but an inner activity. The requirement of being is independence, freedom, and the presence of critical reason. In this case it is necessary to use reason to be able to understand the reality of man more deeply. In addition, relationships with others also help reveal the realities of life. Erich Fromm also shows the aspect of being: the will to give, to share, and to sacrifice. This aspect is more prevalent in war situations than in a peaceful situation. Erich Fromm's thinking leads to the realization of a new society called the society of being. From this being society, it will emerge new man beings who base their live on being. This new man does not depend his life on things, but on himself. Every action taken departs from within himself, not from outside himself. Society is leading people to achieve true happiness. Erich Fromm refers to true happiness as a proses of ever-growing aliveness. The author discovers three relevances of the Erich Fromm’s concept of being for society today. First, the mode of existence becomes the answer to a society’s situation which tends to be dominated by the existence of having mode. Second, relationships become important conditions in understanding a particular reality in choosing a leader. Third, the choice of the existence of being mode brings human to true happiness. The concept of being is also highly relevant to Christian values. This can be found in scriptural quotations that emphasize the importance of being self-reliance instead of relying on matter. Y1 - 2017 ER - TY - GEN A1 - Azfar, Adeliany T1 - Konsep cinta dalam ekranisasi cerpen >Cinta di saku belakang celana< karya fajar nugros: sebuah kajian sastra bandingan [The Concept of Love in the Screen Adaptation of the Short Story >Cinta di Saku Belakang Celana< by Fajar Nugros: A Comparative Literary Study], S-1 Thesis, Language and Literature, Department of Indonesian Language and Literature Education, Faculty of Language and Literature Education Indonesian University of Education (UPI), Bandung, West Java, Indonesia 2015. [repository.upi.edu/17976] [application of Fromm's theories to art] - Only summary available. N2 - Penelitian ini memfokuskan pada pembandingan struktur naratif dan sinematik antara cerpen >Cinta di Saku Belakang Celana< dan film >Cinta di Saku Celana< karya Fajar Nugros. Selain itu, juga dilakukan pembandingan mengenai perilaku, peristiwa, dialog/monolog karakter, simbol yang ada di dalam cerpen dan film. Tujuannya adalah untuk mengetahui konsep cinta yang terdapat dalam cerpen dan film, serta bagaimana representasi konsep cinta dari cerpen ke film. Hal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya perbedaan konsep cinta yang terdapat dalam kedua karya tersebut yang masih menimbulkan kebingungan bagi para pembaca. Kajian ini menggunakan pendekatan sastra bandingan. Penelitian ini dikaitkan dengan hierarki kebutuhan Abraham Maslow, objek cinta menurut Erich Fromm, dan cinta dalam tasawuf menurut Rabi’ah Al Adawiyah. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis komparatif. Data dan sumber data adalah file film >Cinta di Saku Celana< dan buku kumpulan cerpen karya Fajar Nugros berjudul >I Didn’t Lose My Heart, I Sold It on Ebay!< Temuan penelitian menunjukkan bahwa konsep cinta yang terdapat pada cerpen adalah cinta kepada harta/materi, sedangkan pada film adalah cinta kepada wanita. Representasi konsep cinta dari cerpen >Cinta di Saku Belakang Celana< ke film >Cinta di Saku Celana< mengalami pergeseran menjadi sesuatu yang lebih realistis sehingga mampu diterima oleh penonton. Atas temuan itu dapat disimpulkan bahwa meskipun sebuah film berasal dari cerpen yang memiliki cerita sama, tetapi tetap saja terjadi pergeseran setelah diekranisasi. Pergeseran ini terjadi karena adanya perbedaan sasaran antara cerpen dan film. Sasaran cerpen adalah pembaca, sedangkan sasaran film adalah penonton. Penelitian ini memfokuskan pada pembandingan struktur naratif dan sinematik antara cerpen >Cinta di Saku Belakang Celana< dan film >Cinta di Saku Celana< karya Fajar Nugros. Selain itu, juga dilakukan pembandingan mengenai perilaku, peristiwa, dialog/monolog karakter, simbol yang ada di dalam cerpen dan film. Tujuannya adalah untuk mengetahui konsep cinta yang terdapat dalam cerpen dan film, serta bagaimana representasi konsep cinta dari cerpen ke film. Hal yang melatarbelakangi penelitian ini adalah adanya perbedaan konsep cinta yang terdapat dalam kedua karya tersebut yang masih menimbulkan kebingungan bagi para pembaca. Kajian ini menggunakan pendekatan sastra bandingan. Penelitian ini dikaitkan dengan hierarki kebutuhan Abraham Maslow, objek cinta menurut Erich Fromm, dan cinta dalam tasawuf menurut Rabi’ah Al Adawiyah. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis komparatif. Data dan sumber data adalah file film >Cinta di Saku Celana< dan buku kumpulan cerpen karya Fajar Nugros berjudul >I Didn’t Lose My Heart, I Sold It on Ebay!< Temuan penelitian menunjukkan bahwa konsep cinta yang terdapat pada cerpen adalah cinta kepada harta/materi, sedangkan pada film adalah cinta kepada wanita. Representasi konsep cinta dari cerpen >Cinta di Saku Belakang Celana< ke film >Cinta di Saku Celana< mengalami pergeseran menjadi sesuatu yang lebih realistis sehingga mampu diterima oleh penonton. Atas temuan itu dapat disimpulkan bahwa meskipun sebuah film berasal dari cerpen yang memiliki cerita sama, tetapi tetap saja terjadi pergeseran setelah diekranisasi. Pergeseran ini terjadi karena adanya perbedaan sasaran antara cerpen dan film. Sasaran cerpen adalah pembaca, sedangkan sasaran film adalah penonton. N2 - This research is focused on the comparison of narrative structure and the cinematic of the short stories >Cinta di Saku Belakang Celana< and the movie >Cinta di Saku Celana< by Fajar Nugros. In the addition, there are also the comparisons about the behaviors, the events, the characters’ dialogues/ monologues, and the symbols in the short story and movie. The purpose is to know the love concept in the short story and movie, and how the representations of this love concept in these works are. The background of this research is the differences about love concept in those two works which are still ambiguous for the readers. This research uses the theory of the comparative literature. This research is related with the hierarchy of necessity by Abraham Maslow, the love objects by Eric Fromm, and the love in >tasawuf< by Rabi’ah Al Adawiyah. The method of the research which is used is the descriptive comparative analysis. The sources of the data are the movie >Cinta di Saku Celana< and the book of short story collection by Fajar Nugros, entitled >I Didn’t Lose My Heart, I Sold It on Ebay!< The result of the research shows that the love concept in the short story is the love for the wealth/ material, while the love concept in the movie is the love for the woman. The representation of the love concept in the short story >Cinta di Saku Belakang Celana< to the movie >Cinta di Saku Celana< changed into something which is more realistic, so it can be accepted by the people. From this result, it can be concluded that although the movie is adapted from the short story with the same plot, there are still some changes after the ecranisation. These changes happened because of the differences between the short story and the movie. The target of the short story is the readers, while the target of the movie is the viewer. Y1 - 2015 ER - TY - GEN A1 - Abdul Rahman, Aulia T1 - Konsep cinta Erich Fromm sebagai Dasar Relasi Autentik Sesama Manusia dalam Perspektif Relasi Aku – Engkau Martin Buber [Erich Fromm's Concept of Love as the Basis of Authentic Relationships with People in the Perspective of Martin Buber's I – You Relationship], Bachelor thesis, Philosophy, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Java, Indonesia 2013, Indonesian. - Only abstract and content available. N2 - Penelitian ini berjudul >Konsep Cinta Erich Fromm sebagai Dasar Relasi Autentik Sesama Manusia dalam Perspektif Relasi Aku-Engkau Martin Buber<. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keterasingan dan kesepian yang dialami oleh manusia modern, akibat kerusakan dan kekacauan hubungan yang sejati antar manusia. Penelitian ini akan mengusulkan konsep cinta Erich Fromm sebagai solusi terhadap permasalahan tersebut. Konsep cinta Erich Fromm akan dikaji lebih dalam menggunakan pemikiran Martin Buber mengenai dua mode relasi manusia yang menunjukkan relasi autentik dan tidak autentik, yaitu relasi Aku-Engkau dan relasi Aku-Itu. Tujuan penelitian ini yaitu mendeskripsikan konsep cinta Erich Fromm serta menganalisis konsep cinta tersebut sebagai dasar relasi autentik subjek dengan subjek menggunakan perspektif relasi Aku-Engkau sebagai relasi yang sesuai dengan kodrat eksistensi manusia. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif di bidang ilmu filsafat. Model penelitian dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan (library research). Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data utama dan data pendukung yang terdiri dari buku, jurnal, maupun sumber kepustakaan lainnya. Penelitian ini dilakukan melalui langkah-langkah yang meliputi persiapan, kemudian klasifikasi data, dan terakhir analisis data. Analisis data menggunakan metode analisis kefilsafatan dengan unsur metodis yang terdiri dari deskripsi, interpretasi, heuristika, dan refleksi kritis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konsep cinta Erich Fromm atau dikenal juga dengan konsep cinta produktif merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi keterasingan dan kesepian yang dialami oleh manusia modern, karena sesuai dengan kodrat eksistensi manusia. Konsep cinta Erich Fromm mengandung prinsip-prinsip seperti perlindungan, tanggung jawab, rasa hormat, dan pengetahuan yang tidak ada dalam bentuk cinta lainnya. Konsep cinta Erich Fromm menegaskan akan adanya elemen relasi yang autentik seperti keterlibatan timbal balik, keterbukaan, mutualitas, penegasan atas keliyanan (otherness) yang lain, serta penerimaannya atas konflik. N2 - This research is entitled >Erich Fromm's Concept of Love as the Basis of the Authentic Relationship in the Perspective of Martin Buber's I-You Relationship<. The background of this research is alienation and loneliness undergone by modern men, due to corruption and confusion of an authentic relationship with a fellow human. This research will propose Erich Fromm's concept of love as a solution to the problem. Erich Fromm's concept of love will be studied deeply by using Martin Buber's idea about two-mode relations that indicate an authentic relationship and an inauthentic relation, namely the I-You relationship and the I-It relation. This research aims to describe Erich Fromm's concept of love and analyze the concept of love as the basis of the authentic relationship of subject and subject using the perspective I-You relationship in accord with the nature of human existence. This research is qualitative in the field of philosophy. The model is library research. The materials come from primary and secondary data that consist of books, journals, and other library resources. This research using step by step that includes preparation, data classification, and data analysis. Data analysis using philosophical methodical analysis that consists of description, interpretation, heuristics, and critical reflection. The results of this research indicate that Erich Fromm's concept of love or also well-known as productive love is the best solution for overcoming loneliness and alienation undergone by modern men since it fits with the nature of human existence. Erich Fromm's concept of love contains principles such as care, responsibility, respect, and knowledge that is not in other love. Erich Fromm's concept of love affirms the elements of the authentic relationship, such as reciprocity, openness, mutuality, affirmation to the otherness of the other, and acceptance of conflict. Y1 - 2020 ER - TY - GEN A1 - Alchamid, Ngabdul Ngazis T1 - Konsep Humanisasi pada Masyarakat Era Teknologi (Studi Komparasi Pemikiran Erich Fromm dan Kuntowijoyo) [The Concept of Humanization in Society in the Technology Age (Comparative Study of Erich Fromm and Kuntowijoyo's Thoughts)], Bachelor thesis, Ushuluddin Science and Philosophy, Sunan Ampel State Islamic University Surabaya, Java, Indonesia 2019, 70 pp., Indonesian. N2 - Sejak memasuki era industri, kehidupan masyarakat sudah mulai dimudahkan oleh mesin-mesin teknologi, hingga kemudahan yang diberikan oleh teknologi membawa kemajuan pada peradaban manusia. Akan tetapi, ternyata teknologi juga membawa dampak negatif di dalam masyarakat. Menurut Erich Fromm teknologi tidak lagi hanya menjadi sarana untuk mencapai tujuan, akan tetapi sudah menjadi tujuan dari masyarakat. Sedangkan menurut Kuntowijoyo, teknologi diciptakan oleh manusia untuk membantu pekerja industri agar memperoleh hasil yang efisien, akan tetapi hal sebaliknya yang terjadi adalah pekerja mengikuti kerja dari mesin teknologi. Teknologi yang seharusnya melayani manusia, menjadi manusia yang melayani teknologi. Bagi Erich Fromm dan Kuntowijoyo, masyarakat sedang dalam keadaan dehumanisasi. Oleh karena itu diperlukan humanisasi pada masyarakat, yang bertujuan untuk mengembalikan derajat kemanusiaan. Penelitian ini merupakan studi komparasi antara pemikiran Erich Fromm dan Kuntowijoyo mengenai konsep humanisasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan menjelaskan keadaan masyarakat era teknologi dan mengumpulkan sumber data dari karya-karya Erich Fromm dan Kuntowijoyo, serta sumber lain yang sesuai dengan tema. Dalam studi komparasi, penelitian ini menggunakan metode komparasi simetris, dengan mengurai pemikiran Erich Fromm dan Kuntowijoyo satu persatu secara lengkap, kemudian membuat perbandingan dari pandangan kedua tokoh tersebut. Hasil dari penelitian ini adalah perbedaan pemikiran Erich Fromm dan Kuntowijoyo yang terletak padalandasan berfikirnya, serta pemakaian aspek spiritual dalam mendukung konsep humanisasi. Sedangkan persamaan pemikiran kedua tokoh tersebut terdapat dalam tiga aspek, yaitu humanisasi, pembebasan dan pemenuhan kebutuhan spiritual. N2 - Since entering the industrial era, people's lives have begun facilitated by technological machines, so that the convenience provided by technology has brought progress to human civilization. However, it turns out that technology also has a negative impact on society. According to Erich Fromm, technology is no longer just a means to an end, but has become the goal of society. Meanwhile, according to Kuntowijoyo, technology was created by humans to help industrial workers to obtain efficient results, but the opposite is happening, workers follow the work of technological machines. Technology that should serve humans, becomes humans serving technology. For Erich Fromm and Kuntowijoyo, society is in a state of dehumanization. Therefore it is necessary to humanize society, which aims to restore the degree of humanity. This research is a comparative study between the thoughts of Erich Fromm and Kuntowijoyo regarding the concept of humanization. This study uses a qualitative method by explaining the condition of society in the technological era and collecting data sources from the works of Erich Fromm and Kuntowijoyo, as well as other sources that are appropriate to the theme. In a comparative study, this study uses the symmetrical comparison method, by analyzing the thoughts of Erich Fromm and Kuntowijoyo one by one in full, then making a comparison of the views of the two figures. The results of this study are the differences in the thoughts of Erich Fromm and Kuntowijoyo which lie in foundation of thinking, as well as the use of spiritual aspects in supporting the concept of humanization. While the similarities in the thoughts of the two figures are found in three aspects, namely humanization, liberation and fulfillment of spiritual needs. [Google translator, 12/2022] Y1 - 2019 ER - TY - GEN A1 - Subono, Nur I. T1 - Konsepsi Erich Fromm mengenai manusia dan masyarakat dalam tradisi psikologi sosial materialis [Erich Fromm's concept of man and society in the tradition of social psychology materialist], Tesis, Social Psychology, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Univer N2 - Tesis ini memiliki tujuan untuk mengangkat pemikiran Erich Fromm mengenai manusia dan masyarakat dalam tradisi psikologi sosial materialis. Pemikiiran Erich Fromm ini layak untuk ditampilkan karena dua alasan utama yakni, (1) pemikiran ini bertumpu pada dua aliran besar pemikiran: Mandan dan Freudian. Ia merupakan kritik dan sintesa dan dua aliran pemikiran tersebut; (2) pemikiran ini memberikan kontribusi yang besar terhadap kejayaan Teori Kritis yang dikembangkan oleh Institut Penelitian Sosial, yang kemudian lebih dikenal sebagai Mazhab Frankfurt. Yang belakangan ini kelihatannya jarang diangkat (sengaja ditenggelamkan?) dalam berbagai literatur yang ada Memang benar bahwa Erich Fromm hanya sebentar bergabung bersama Institut Penelitian Sosial, tapi tentu kita tidak bisa mengabaikan kontribusinya. Adapun permasalahan pokok yang diangkat adalah: bagaimana tinjauan kritis Fromm terhadap pemikiran Karl Marx dan Sigmund Freud yang bicara mengenai manusia dan masyarakat? Dan bagaimana pemikiran Erich Fromm sendiri, mengenai manusia dan masyarakat, dalam tradisi psikologi sosial materialis? Metode yang dipakai dalam tesis ini adalah, metode penelitian historis, deksriptif-analitis, dan komparasi-sintesis. Y1 - 2004 ER - TY - GEN A1 - Rizki Yuliatin, Riyanna T1 - Lari dari Kebebasan: Kajian psikoanalisis humanistis Erich Fromm terhadap tiga seri novel KKPKk little Ballerina Karya Thia [Escape from Freedom: Study of the three Novel Series KKPKK Little Ballerina by Thia according to Erich Fromm's Humanistic Psychoanalysis], Master's thesis, Literary Studies, Gadjah Mada Univeristy, Yogyakarta, Indonesia 2015, Indonesian [application of Fromm's theories to art]. - Only abstract and content available. N2 - Penelitian ini bertujuan untuk melihat mekanisme pelarian diri yang digunakan Thia sebagai manusia modern dalam ketiga seri novel KKPK Little Ballerina. Analisis dilakukan dengan menggunakan teori psikoanalisis Erich Fromm, khususnya konsep pelarian diri. Fromm berasumsi bahwa pada dasarnya manusia modern melepaskan kebebasan karena kebebasan selalu hadir bersama ancamannya tersendiri. Terdapat tiga mekanisme yang bisa digunakan untuk melakukan pelarian diri, yaitu: otoritarisme, kedestruktifan, dan konformitas. Data-data yang dikumpulkan berupa kata-kata baik yang bersumber dari data utama, yaitu novel, maupun wawancara. Kemudian data-data dianalisis dengan melihat hubungan-hubungan tekstual yang ada dalam ketiga seri novel dengan konsep mekanisme pelarian diri. Hasil analisis memperlihatkan bahwa terdapat hubungan antara kebutuhan-kebutuhan manusia dengan mekanisme pelarian diri. Melalui jenis kebutuhan-kebutuhan manusia yang dipenuhi memperlihatkan mekanisme pelarian diri yang digunakan. Otoritarisme terbentuk dengan memenuhi kebutuhan keterhubungan. Kedestruktifan muncul setelah kebutuhan keunggulan terpenuhi. Sementara itu, konformitas tercipta setelah kebutuhan kerangka orientasi, keberakaran, dan kepekaan identitas terpenuhi. Thia menggunakan ketiga mekanisme pelarian diri tersebut. Dari ketiga mekanisme tersebut terlihat hubungan antara satu dengan lainnya. Pola kebebasan menjadi pola tetap dalam cerita-cerita Thia, sementara pola ketidakbebasan menjadi bentuk tersendiri yang muncul berkaitan dengan perkembangan psikologis dari anak-anak akhir ke remaja awal dan pengalaman mengikuti les balet. N2 - The aims of this study to reveal escape mekanism used by Thia as modern man in the three series of KKPK novels Little Ballerina. The analysis is conducted using the theory of psychoanalysis Erich Fromm, especially the concept of escapee. Fromm assumes that modern human release the freedom because between freedom and threat always appear simultaniously. There are three mechanisms that can be used to escape from freedom, consist of: Authoritarianism, Destructiveness, and Conformity. The data collected in form of words either sourced from the main data (the three series of novel) or interview. Then, the data are analyzed by examining textual relations in the three series of novels with the concept of an escape mechanism. The result of this research indicates that there is a relation between the human needs by escape mechanism. Human needs has fulfilled will show escape mechanism that is used. Authoritarianism is formed by meeting the demand connectivity needs. Destructiveness came after fulfillment of the superiority needs. Meanwhile, conformity to be created after the orientation framework, rooted, and sensitivity identity is fulfilled. Thia utilizes the three escape mechanism. Y1 - 2015 ER - TY - GEN A1 - Ahmadi, Anas T1 - Manusia Biofilia dan Nekrofilia dalam Ekofiksi Indonesia: Perspektif Ekopsikologi [Human Biophilia and Necrophilia in Indonesian Ecofiction: An Ecopsychological Perspective], Doctoral dissertation, Language Education, State University Malang, Java, Indonesia 2018, 304 pp., Indonesian. N2 - Penelitian Tipe >Manusia Biofilia dan Nekrofilia dalam Ekofiksi Indonesia: Perspektif Ekopsikologi< ini didasarkan pada fakta bahwa sastra merepresentasikan hubungan manusia dan lingkungan. Penelitian ini berfokus pada empat aspek, yakni (1) tipe manusia biofilia dalam ekofiksi Indonesia; (2) tipe manusia nekrofilia dalam ekofiksi Indonesia; (3) sikap pengarang terhadap manusia biofilia dalam ekofiksi Indonesia; dan (4) sikap pengarang terhadap manusia nekrofilia dalam ekofiksi Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif-deskriptif-interpretatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini, yakni ekopsikologi yang merupakan bagian dari studi psikologi, sedangkan teori yang digunakan, yakni biofilia dan nekrofilia yang ditopang dengan konsep etika lingkungan dan alienasi lingkungan. Instrumen penelitian adalah peneliti yang sekaligus menjadi instrumen kunci. Data yang digunakan berupa kata, frasa, kalimat, dan alinea yang relevan dengan fokus penelitian. Sumber data yang digunakan, yakni 17 ekofiksi Indonesia yang relevan dengan fokus penelitian. Penganalisisan data menggunakan teknik heuristik yang merujuk pada Key & Kerr, swapencarian (selfsearch), swadialog (selfdialogue), dan swatemuan (selfdicovery), sedangkan untuk pengodean data merujuk pada Neuman, yakni (1) pengodean terbuka, (2) pengodean aksial, (3) pengodean selektif, dan (4) tahap pengodean final. Berdasarkan analisis, diperoleh temuan penelitian yang terpapar sebagai berikut. Pertama, tipe manusia biofilia yang terdapat dalam 17 ekofiksi indonesia muncul dalam bentuk (1) tipe manusia biofilia humanistik. Dalam interaksinya dengan lingkungan, manusia biofilia humanistik menunjukkan pikiran/tindakan mencintai laut, memprotes lingkungan tambang, peduli pada lingkungan domestik, peduli pada lingkungan sawah/ladang, dan mencintai binatang; (3) tipe manusia biofilia estetik. Dalam interaksinya dengan lingkungan, manusia biofilia estetik menunjukkan pikiran/tindakan yang berkait dengan keindahan air terjun, keindahan lingkungan sekitar, keindahan laut, kesenian tema lingkungan; (3) tipe manusia biofilia ekospiritualistik. Dalam interaksinya dengan lingkungan, manusia tipe manusia biofilia ekospiritualistik menunjukkan pikiran/tindakannya dalam upacara yang berkait dengan lingkungan dan pencarian jati diri melalui lingkungan; (4) tipe manusia biofilia ekosaintik. Dalam interaksinya dengan lingkungan, manusia biofilia ekosaintik menunjukkan pikiran/tindakan pengetahuan lokal tentang pengobatan, pengetahuan lokal tentang persilatan, pengetahuan lokal tentang pola hidup, cara mengendalikan lingkungan, dan cara membuat perahu. Kedua, tipe manusia nekrofilia yang terdapat dalam 17 ekofiksi indonesia muncul dalam bentuk (1) tipe manusia nekrofilia eksploitatif. Dalam interaksinya dengan lingkungan, manusia nekrofilia eksploitatif menunjukkan pikiran/tindakan yang berkait dengan eksploitasi lingkungan tambang, eksploitasi lingkungan hutan, eksploitasi binatang; (2) tipe manusia nekrofilia destruktif. Dalam interaksinya dengan lingkungan, manusia nekrofilia eksploitatif menunjukkan pikiran/tindakan yang berkait dengan pembakaran hutan, penyiksaan/pembunuhan binatang; dan (3) tipe manusia nekrofilia simbolis. Dalam interaksinya dengan lingkungan, manusia nekrofilia simbolis mengalami trans-spesies menjadi binatang (babi) yang suka mencuri harta orang lain. Ketiga, sikap pengarang Indonesia terhadap tipe manusia biofilia adalah mendukung sepenuhnya. Para pengarang Indonesia menunjukkan keberpihakan pada tipe manusia biofilia. Sikap keberpihakan pengarang tersebut muncul dalam bentuk (1) sikap menumbuhkembangkan spiritualisme lingkungan. Sikap ini direpresentasikan oleh pengarang Herliany dalam Is; (2) sikap mencintai binatang direpresentasikan oleh pengarang Kuntowijoyo dalam MPU, Cipta dalam Ca, Thayf dalam TT, dan Lestari dalam Pt; (3) sikap apresiatif terhadap estetika lingkungan direpresentasikan oleh pengarang Dewi Lestari dalam Ak, Seno Gumira dalam NB2, dan Mangunwijaya dalam IHIH; dan (4) sikap menunjukkan pengetahuan tradisi pengobatan tradisional direpresentasikan oleh pengarang Mangunwijaya dalam IHIH, Senogumira dalam NB2, dan Thayf dalam TT. Dengan demikian, sikap pengarang Indonesia terhadap manusia biofilia terkategorikan orientasi >lunak< belum mengarah pada orientasi >radikal< sebab dalam novel Indonesia manusia biofilia tidak digambarkan melakukan peperangan/pemberontakan terhadap manusia nekrofilia. Keempat, sikap pengarang Indonesia terhadap manusia nekrofilia adalah tidak mendukung. Mereka memprotes dan mengkritisi tipe manusia nekrofilia. Hal tersebut ditunjukkan pengarang Indonesia dalam bentuk (1) sikap menunjukkan ketidakadilan ras dalam lingkungan; (2) sikap mengkritisi eksploitasi lingkungan. Sikap menunjukkan ketidakadilan ras dalam lingkungan direpesentasikan oleh Andrea Hirata dan Thayf. Adapun sikap mengkritisi eksploitasi lingkungan direpresentasikan oleh Andrea Hirata, Thayf, dan Tereliye dan; (3) sikap mengkritisi penyiksaan dan pelecehan terhadap binatang direpresentasikan oleh pengarang Eka Kurniawan dalam O. Berkait dengan keempat simpulan tersebut tampak bahwa sastra Indonesia, khususnya novel masih belum banyak yang memunculkan representasi interaksi manusia dengan lingkungan, baik segi manusia biofilia dan manusia nekrofilia. Dengan demikian, pengarang Indonesia, khususnya novelis, perhatian terhadap masalah interaksi manusia dengan lingkungan belum begitu besar. Lingkungan belum menjadi tema arus utama dalam novel-novel Indonesia. Meskipun demikian, sastrawan Indonesia, misalnya Mangunwijaya, Navis, Kuntowijoyo, Rampan, Lestari, Kurniawan, Thayf, Senogumira, Tereliye, Cipta, dan Herliany, merupakan pengarang yang menaruh konsentrasi terhadap hubungan interaksional antara manusia dan lingkungan. Karena itu, pengarang yang menggambarkan interaksi manusia dan lingkungan adalah pengarang yang menarasikan sastra lingkungan atau yang dikenal dengan sebutan ecoliterature, ecofiction, atau econarratology. N2 - Research on Human Types of >Biophilia and Necrophilia in Indonesian Ecofiction: An Ecopsychological Perspective< is based on the fact that literature represents the relationship between humans and the environment. This research focuses on four aspects, namely (1) the type of biophilic human in Indonesian ecofiction; (2) necrophilic human types in Indonesian eco-fiction; (3) the author's attitude towards human biophilia in Indonesian eco-fiction; and (4) the author's attitude towards necrophilic humans in Indonesian ecofiction. This study uses a qualitative-descriptive-interpretative approach. The approach used in this study is ecopsychology which is part of the study of psychology, while the theory used is biophilia and necrophilia which are supported by the concepts of environmental ethics and environmental alienation. The research instrument is the researcher who is also the key instrument. The data used are in the form of words, phrases, sentences, and paragraphs that are relevant to the research focus. The data sources used are 17 Indonesian ecofictions that are relevant to the research focus. Data analysis used heuristic techniques that referred to Key & Kerr, self-search, self-dialogue, and self-discovery, while data coding referred to Neuman, namely (1) open coding, (2) axial coding, ( 3) selective coding, and (4) final coding stage. Based on the analysis, the following research findings were obtained which were exposed. First, the biophilic human type found in 17 Indonesian ecofictions appears in the form of (1) humanistic biophilic human type. In interacting with the environment, humanistic biophilic humans show thoughts/actions of loving the sea, protesting the mining environment, caring for the domestic environment, caring for the paddy/field environment, and loving animals; (3) aesthetic biophilic human type. In interacting with the environment, aesthetic biophilic humans show thoughts/actions related to the beauty of waterfalls, the beauty of the surrounding environment, the beauty of the sea, environmental-themed art; (3) eco-spiritualistic biophilic human type. In interacting with the environment, eco-spiritualistic biophilic humans show their thoughts/actions in ceremonies related to the environment and search for identity through the environment; (4) ecosynthetic biophilic human type. In interacting with the environment, ecosynthetic biophilic humans show thoughts/actions of local knowledge about medicine, local knowledge about martial arts, local knowledge about lifestyle, how to control the environment, and how to make boats. Second, the necrophilic human type found in 17 Indonesian ecofictions appears in the form of (1) the exploitative necrophilic human type. In interacting with the environment, exploitative necrophilic humans show thoughts/actions related to exploitation of the mining environment, exploitation of the forest environment, exploitation of animals; (2) the human type of destructive necrophilia. In interacting with the environment, exploitative necrophilic humans show thoughts/actions related to burning forests, torturing/killing animals; and (3) the human type of symbolic necrophilia. In interacting with the environment, humans with symbolic necrophilia experience trans-species to become animals (pigs) who like to steal other people's property. Third, the attitude of Indonesian authors towards the biophilic human type is fully supportive. Indonesian authors show partiality towards the biophilic human type. The attitude of the author's partiality appears in the form of (1) the attitude of fostering environmental spiritualism. This attitude is represented by the author Herliany in Is; (2) the attitude of loving animals is represented by the authors Kuntowijoyo in MPU, Cipta in Ca, Thayf in TT, and Lestari in Pt; (3) an appreciative attitude towards environmental aesthetics is represented by the authors Dewi Lestari in Ak, Seno Gumira in NB2, and Mangunwijaya in IHIH; and (4) the attitude of demonstrating knowledge of traditional medicinal traditions represented by the authors Mangunwijaya in IHIH, Senogumira in NB2, and Thayf in TT. Thus, the attitude of Indonesian authors towards biophilic humans is categorized as a >soft< orientation but not towards a >radical< orientation because in Indonesian novels biophilic humans are not depicted waging war/rebellion against necrophilic humans. Fourth, the attitude of Indonesian authors towards necrophilic humans is not supportive. They protest and criticize the necrophilic human type. This is shown by Indonesian authors in the form of (1) attitudes showing racial injustice in the environment; (2) the attitude of criticizing the exploitation of the environment. The attitude of showing racial injustice in the environment is represented by Andrea Hirata and Thayf. As for the attitude of criticizing environmental exploitation represented by Andrea Hirata, Thayf, and Tereliye and; (3) the attitude of criticizing the torture and abuse of animals is represented by the author Eka Kurniawan in O. In connection with these four conclusions, it appears that Indonesian literature, especially novels, still does not present many representations of human interaction with the environment, both in terms of human biophilia and human necrophilia. Thus, Indonesian writers, especially novelists, have not paid much attention to the problem of human interaction with the environment. The environment has not yet become a mainstream theme in Indonesian novels. Nonetheless, Indonesian writers, for example Mangunwijaya, Navis, Kuntowijoyo, Rampan, Lestari, Kurniawan, Thayf, Senogumira, Tereliye, Cipta, and Herliany, are authors who concentrate on the interactional relationship between humans and the environment. Therefore, authors who describe the interaction of humans and the environment are authors who narrate environmental literature or what is known as ecoliterature, ecofiction, or econarratology. [Translation: Google translator, 12/2022] Y1 - 2018 ER -